SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA - SILAHKAN TINGGALKAN PESAN ANDA

26 Januari 2012

Islam

Pendidikan Islam dan Paradigmanya

Teknologi terus berkembang dan terus menggerus elemen-elemen kehidupan. Perkembanga teknologi melahirkan budaya hidup yang semakin tidak jelas. Coba kita lihat kehidupan masyarakat mulai dari tingkat bawah sampai tingkat konglomerat. Nilai nilai khidupan yang seharusnya memperhatikan norma-norma agama, nrma budaya, susila dansebaganya tidak muncul dalam masyarakat, hanya segelintir saja kalau pun ada seribu satu. Di awal abad ke 20 IQ (Intelligence Quotient) merupakan paradigma baru dalam mengukur kemampuan seseorang mengingat serta menyelesaikan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis strategis. IQ menjadi satu-satunya alat ukur kemampaun seseorang.
Saat ini IQ bukan lagi menjadi satu-satunya indikator kemampuan dan keberhasilan seseorang termasuk dalam pendidikan. Teori yang pertama kali ditemukan oleh psikolog Inggris, Alfred Binet dan kawan-kawannya ini tidak lagi mendominasi dunia pendidikan. Apalagi setelah psikolog Harvard Howard Gardner mempersoalkan pengertian IQ sebagai satu-satunya kecerdasan dan mengembangkan kriteia kecerdasan baru dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind (Gardner : 1983) dengan konsep Multiple Intelligence. Semula Gardner menemukan sedikitnya tujuh macam kecerdasan dalam diri setiap orang, yaitu ; Linguistik, Matematis-Logis, Spasial, Kinestetik, Musikal, Interpersonal, dan Intrapersonal. Selanjutnya jejak Gardner disusul oleh teori kecerdasan yang baru versi Daniel Goleman, serta ilmuan suami istri Ian Marshal dan Danah Zohar.
Pada pertengahan tahun 90 an Daniel Goleman mengajukan teori intelegensi baru yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain, berempati, dan kemampuan untuk dapat merespon secara tepat kesedihan dan kebahagiaan. Kemampuan tersebut diperkenalkan oleh Goleman dengan istilah Emotional Intelligence.
Selanjutnya Marshal dan Zohar mengenalkan Spiritual Intellengence yang menurut mereka merupakan kecerdasan yang digunakan untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan makna dan nilai, menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks yang lebih luas dan lebih dalam, menilai tindakan dan jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. (Zohar dan Marshal, 2002).
Baik Multiple Intelligence, Emotional Intelligence, maupun Spiritual Intellengence menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk multi dimensi dan memiliki beragam potensi yang secara padu dan utuh harus dikembangkan dalam pendidikan. Salah satu tujuan pendidikan adalah memaksimalkan potensi manusia, membantu manusia untuk berkembang mencapai tingkat kesempurnaan (Bagir syarif Al- Quarisyi, 1979) setinggi-tingginya. Kita hanya memanfaatkan sebagian kecil saja dari potensi kita. We live only a small part of the live we are given. Dalam pendidikan masih sering ditemukan berbagai hal yang tidak mensuport perkembangan potensi ini, baik karena kesalahan metode atau karena tidak memiliki keterampilan yang relevan.
Cahaya Tuhan dalam Pendidikan
Untuk mencapai tingkat kesempurnaan pengembangan potensi, pendidikan harus memiliki tujuan dan referensi. Tujuannya adalah Tuhan dan referensinya adalah Al-Qur’an. Manusia lahir pertama kali dalam bentuk bayangan yang paling gelap tidak tahu apa-apa (La ta’lamuna syai’a). Ketika ia kembali kepada Tuhan, ia harus melewati gap yang terentang panjang antara kegelapan (ketidaktahuan) dengan Cahaya Mutlak (Yang Maha Tahu). Orang memilih jalan yang berbeda-beda. Ada yang memilih tetap bermain dalam bayangan. Ada yang mencari berbagai macam cahaya, ada yang memusatkan perhatian pada Cahaya Mutlak dan tidak puas dengan yang bukan itu. Tingkat intensitas cahaya itu tidak terbatas. Setiap tingkat menjadi stasion (manzil). Stasion ada supaya orang meneruskan perjalanan kepada stasion berikutnya.
Memilih jalan menuju cahaya, adalah menambah intensitas cahaya dengan mengaktualkan nama-nama Tuhan, Sang Cahaya Mutlak. Nama-nama itu sebetulnya sudah tersimpan secara laten dalam fitrah manusia. Mewujudkan nama-nama Tuhan inilah yang disebut sebagai takhalluq bi akhlaq Allah, atau sebenarnya, takhalluq bi Asma\' Allah.
Takhallaqu bi Asma’ Allah adalah proses menuju kesempurnaan. Proses ini tidak ada batasnya. Dalam proses takamul, manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas. Kita semua sedang ber¬gerak menuju Allah. Pendidikan dan yang dididik adalah mitra dalam kafilah rohani yang sedang menempuh perjalanan di sahara yang tidak berujung. Pendidikan adalah upaya untuk merealisasikan asma Allah dalam diri manusia. Setiap kali kita menyerap satu nama Allah, kita berubah menjadi wujud yang berbeda. Proses perubahan itu bergerak bukan hanya \'aradh kita, tetapi juga jauhar kita. Inilah al-harakat al jauhariyah, yang di¬kemukakan Mulla Sadra. Pertanyaannya adalah “Bagaimana melakukan perubahan (change) itu?” How can the finite encompass the Infinite ?

Rasulullah saw. sebagai Model
Dunia kedokteran pernah digemparkan oleh kehadiran Roger Bannister yang berhasil menempuh jarak satu mil dengan waktu 3 menit 59,4 detik. Padahal dunia kedokteran mengatakan bahwa tidak ada manusia yang mampu menempuh jarak satu mil lebih dari empat menit dan kalaupun bisa pasti mati karena jantungnya akan pecah. Roger kemudian disebut manusia tercepat sekaligus terkuat dapat menempuh jarak tersebut.
Melalui lahitan yang baik satu bulan kemudian John Landy, pelari Australia, menempuh jarak yang sama dalam waktu yang lebih pendek. Setelah itu, banyak orang berhasil menempuh jarak satu mil kurang dari empat menit. Salah satu penjelasan tentang keberhasilan ini adalah teori modelling. Ketika ada manusia yang sanggup melakukan sesuatu, manusia lain pun berfikir sama. Mereka berfikir bila orang lain mampu, mengapa mereka tidak, Pikirannya mempengaruhi ke¬kuatan fisiknya. You don\'t think what you are. You are what you think.
Rasulullah saw. merupakan menusia biasa yang mampu mencapai puncak cahaya dengan sukses. Sampai seorang ilmuan non muslim menempatkannya sebagai manusia number one dalam Who was the Most Influencial Person in History. Beliau merupakan model manusia etik yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai uswatun hasanah. Tidak saja Intelligence Quotient, Multiple Intelligence, Emotional Intelligence, maupun Spiritual Intellengence yang dimiliki oleh beliau, tetapi juga dari kepribadian beliau jugalah lahir istilah Prophetic Intelligence. Sahabat-sahabat beliau dan orang-orang sesudahnya sampai saat ini menjadikan beliau sebagai model, idola, panutan dalam berbagai segi kehidupan.
Dari mereka juga kita belajar menapaki jalur latihan-latihan rohani melalui pelajaran dari aliran-aliran tarekat. Atau kalau kita memandang itu sebagai bid ah, kita dapat menukan praktek-praktek yang dicontohkan Nabi saw. seperti banyak berdoa, berzikir, tabaku, dan lain-lain. Pendidik juga dapat berfungsi sebagal mursyid yang dengan telaten dan penuh rasa sayang membimbing murid-muridnya mensucikan batin, membersihkan diri, dan kemudian melatih mengaktualkan sifaf-sifat Tuhan dan ber takhalluq dengan sifat-sifat Rasul-Nya.
Melalui pendidikan pad akhirnya manusia kembali pada Tuhan. Kata Ibnu Arabi Jalaluddin Rakmat (119) \"Semua kembali kepada Tuhan, tetapi sebagian besar kembali kepada¬nya persis seperti ketika mereka datang. \"Tidak seorang pun di antara kami mem¬punyai kedudukan tertentu \" (Al-Qur \'an 37 : 164 ). Menurut lbn Arabi kata¬-kata Jibril ini berlaku untuk setiap hal kecuali dua : jin dan manusia. Pohon pir datang ke dunia ini sebagai pohon pir dan tidak pernah meninggalkan dunia ini sebagai pohon labu. Badak tidak pernah menjadi monyet atau tikus. Tetapi manusia (dengan tidak membicarakan jin) datang ke alam ini sebagai potensi yang luar biasa untuk bukan saja tumbuh dan ber¬kembang, tapi juga menyimpang, mengalami degradasi dan deformasi. Di luar, selama di dunia ini mereka tampak sebagai manusia. Tapi di dalam, mereka dapat menjadi apa saja. Mereka datang sebagai manusia, tapi mungkin kembali menjadi labu, monyet atau babi. Na’uzubillah min zalik.

Pendidikan dan Tugas Kekhalifahan
A. Malik Fadjar (1999) Kalau pendidikan Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari tugas kekhalifaha manusia, atau lebih khusus lagi penyiapan kader-kader khalifah Allah fi al-Ard, maka pendidikan Islam mestinya model pendidikan yang paling ideal, karena tidak hanya berwawawsan dunia, tetapi juga berwawasan secara utuh dan multidemensional. Tidak hanya berorientasi untuk menjadikan dunia sejahtera dan makmur, tetapi juga mengajarkan bahwa dunia merupakan ladang sekaligus ujian untuk mendapatkan akhirat dengan baik.
Kalau tidak saat ini, kapan lagi mau memulai perubahan (change), atau bisa jadi apa yang diungkap oleh Muhammad Iqbal dalam karya monomentalnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam tentang “During the last five hundred years religious thought in Islam has been practically stationary”, masih berlangsung sampai saat ini.


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More