SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA - SILAHKAN TINGGALKAN PESAN ANDA

3 Februari 2012

KAPAN TERAKHIR KALI KITA MEMUJI?

Ya, kapan terakhir kali Anda memberikan pujian terhadap orang-orang di sekitar Anda? Ah… Penulis mendengar jeda yang cukup lama sebelum akhirnya Anda dapat memberikan jawabat atas pertanyaan tersebut. Penulis berharap semoga jeda tersebut berarti Anda tengah mangalkulasi jumlah orang yang Anda puji hari ini. Dan, penulis tidak berharap jeda tersebut berarti Anda sudah lupa siapa yang terakhir kali dipuji saking lamanya hal tersebut terjadi. Kalau kondisi yang kedua yang terjadi, satu kata dari penulis untuk Anda; TERLALU!

Sebagai makhluk sosial, kita tidak akan bisa hidup seorang diri. Kita akan selalu membutuhkan kehadiran orang lain di sekitar kita. Konsekuensi logis atas interaksi antara dua orang atau lebih adalah terjadinya komunikasi. Dan, pujian merupakan komunikasi positif yang diperlukan bagi manusia untuk membangun jiwa yang positif pula.

Pujian mungkin persoalan yang sepele. Mudah diucapkan dan lekat dengan keseharian kita. Tetapi sering kali, hal-hal sepele dan lekat dengan keseharianlah yang mudah sekali kita lupakan. Sudahkah kita sempatkan memuji istri yang setiap hari melayani keperluan kita? Sudahkah kita sediakan energi untuk memuji anak-anak kita? Sudahkah kita melapangkan hati untuk memuji kinerja karyawan kita? Sepele, sungguh sepele. Sayangnya, oleh karena sepele itulah, kita sering menyepelekannya. Kalau pun sempat kita lakukan, barangkali energi untuk mengungkapkan itu pun hanya sisa-sisa dari aktivitas kita yang lain.

Sebuah kisah yang dirangkum dalam seuah film Hollywood kiranya bisa memberikan pelajaran kepada kita bahwa seringkali yang membuat sesuatu berubah ke arah yang lebih baik—atau ke arah sebaliknya—adalah hal-hal yang sepele. Kisahnya sebagai berikut.

Dewan guru sebuah sekolah menengah di Amerika dituntut bekerja keras menyelesaikan permasalahan yang sedang mendera. Reputasi positif yang sudah terbangun berpuluh tahun tidak boleh bernasib layaknya kemarau setahun yang tandas diguyur hujan sehari. Sekolah yang memiliki label favorit para orangtua dan siswa ini tidak boleh tercoreng hanya karena tingkah satu orang murid.

Ada seorang murid lelaki yang terkenal paling bengal di sekolah itu. Saban hari dia membuat onar, hingga suasana kondusif di sekolah itu menjadi terganggu. Maka, setelah mempertimbangkan melalui rapat dewan guru, diambillah keputusan untuk mengeluarkan murid bengal itu. Akan tetapi, keputusan itu kembali dievaluasi setelah dewan guru sadar bahwa sepanjang sejarah berdirinya, tidak pernah ada satu pun murid yang dikeluarkan dari sekolah itu. Lalu, dibuatlah siasat bagaimana murid tersebut bisa keluar, namun di mata publik seolah tidak dikeluarkan.

Murid bengal itu pun akhirnya dipindahkan ke sekolah lain. Tentu saja, kepindahan murid disertai biodata mencakup nilai-nilai pelajaran dan tentunya jejak rekam di sekolah terdahulu untuk dipelajari oleh sekolah baru. Tentunya, daftar keterangan tentang murid itu adalah “daftar hitam” kebengalan.

Namun, terjadi kekeliruan yang tidak disengaja. Sekolah itu menyertakan daftar riwayat yang salah. Yang dikirim bukan data si murid bengal, namun data murid paling pintar dan rajin di sekolah favorit itu. Tertulis di dokumen itu bahwa si murid adalah siswa teladan, nilainya bagus, hormat kepada guru, sopan kepada sesama teman, dan sederet perilaku positif lainnya.

Oleh karena dukungan biodata tersebut, maka perlakuan dewan guru di sekolah baru terhadap murid itu pun sangat istimewa. Di dalam kegiatan belajar, seringkali murid pindahan ini dijadikan prototipe atau percontohan kepada murid lain bagaimana semestinya seorang murid belajar dan bersikap. Bahkan saking diistimewakannya, setiap dia melakukan kebaikan atau prestasi—meski sepele—dia selalu diberi pujian. Yang paling membuat si murid heran, kenakalan atau kesalahan yang dibuatnya selalu diberikan toleransi dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting jika dibandingkan dengan prestasi dan status “teladan” yang disandang si murid.

Apa yang terjadi setelah itu? Murid yang dulu terkenal bengal tersebut benar-benar berubah menjadi murid yang baik. Dia menjadi murid yang giat belajar, sopan kepada teman, dan hormat kepada guru. Dia seolah lupa dengan perilakunya terdahulu.
Betapa sepele yang dilakukan sekolah baru kepada murid bengal untuk mengubahnya menjadi murid teladan dan sopan. Mereka hanya memperlakukan murid bengal sebagai murid yang istimewa. Oleh karena mereka memandangnya istimewa—meskipun karena salah data—maka mereka dengan mudah memberikan pujian, yang membuat si murid bengal mengubah cara pandangnya terhadap diri sendiri. Dia merasa dirinya istimewa, teladan, pintar, dan berharga—sesuatu yang tidak didapatkannya di sekolah lama.

“Orang akan memandang dirinya sesuai dengan bagaimana orang lain memandangnya,” kata Prof. Deddy Mulyana, saat ditemui MaPI seusai acara Tausyiah Bulanan di Kampus Fikom Unpad. Prof. Deddy mengatakan bahwa cara pandang kita terhadap orang lain akan membentuk citra diri, selanjutnya konsep diri seseorang. Nah, dengan konsep diri inilah seseorang melakukan sesuatu dalam keseharian. Jika konsep dirinya positif, maka seseorang akan memandang dirinya positif, selanjutnya dia akan melakukan hal-hal yang positif. Sebaliknya, jika konsep dirinya negatif, maka seseorang akan memandang dirinya negatif, dan tindakan-tindakannya juga akan cenderung negatif.

Itu garis besar konsep diri yang sudah umum di dunia psikologi dan komunikasi, di mana orang lain dan kelompok rujukan sebagai indikator pembentuk konsep diri. Namun yang mesti menjadi perhatian, kita adalah orang lain bagi seseorang. Jika demikian, kita adalah aktor utama pembentuk konsep diri seseorang. Negatif yang kita berikan, maka negatif konsep diri seseorang. Jika positif, maka akan positif konsep diri seseorang. Maka, jika orang di sekitar kita (baik anak, istri, rekan kerja, sejawat, atau karyawan) berperilaku baik atau tidak, kita tidak perlu mencari ke mana-mana penyebab utamanya. Cukuplah kita sediakan cermin, lalu temukan siapakah yang ada di cermin itu. Ya, di cermin itu ada diri kita.

Kalimat mutiara yang konon berasal dari Jepang, kiranya cukup untuk menjelaskan bagaimana hal-hal sepele bisa menyebabkan sesuatu yang besar. “Karena sebatang paku terlepas, lepaslah sepatu kuda; Karena sepatu terlepas, terjatuhlah kuda; Karena kuda terjatuh, pesan tidak terkirim ke garis depan; Karena pesan tidak terkirim, pasukan kalah perang; Karena kalah perang, jatuhlah sebuah negara.”

Betapa paripurna perkataan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi sesamanya. Memberikan kemanfaatan kepada sesama tidak mesti memberikan hal-hal besar. Cukup lakukan hal-hal kecil dan gratis, tetapi memiliki dampak yang besar. Maka, pujian adalah sesuatu yang sangat tinggi tingkat keberterimaannya. Siapa sih yang tidak mau dipuji?

Pujian itu “Menyembuhkan”
Tatiek Kancaniati dilanda perasaan yang bercampur aduk. Rasa lelah, capek, dan jengahnya hilang seketika, ketika putrinya yang baru yang berusia sembilan tahun mengungkapkan sesuatu kepadanya.

“Waktu itu saya membelikan Khansa susu dan biskuit. Lepas Isya, kami berkumpul di ruang tamu sambil menonton TV. Khansa yang tengah menonton TV sambil sesekali mencelupkan biskuit ke susu memandang saya lalu berkata, ‘Aku seneng deh. Makasih ya Mi, udah beliin Khansa biskuit sama susu’.”

Direktur Yayasan Kuntum Indonesia yang juga mengelola Kampung Wisata Tegal Waru, Ciampea Bogor, ini terenyuh dengan yang diucapkan putrinya. Bagi Tatiek, ucapan terima kasih yang dilontarkan dengan tulus oleh putrinya sungguh tidak ternilai harganya.

“Bagi saya, yang diucapkan Khansa lebih berharga. Saya merasa apa yang telah saya lakukan sangat berarti karena diakui dan dipuji oleh anak saya,” katanya kepada MaPI.
Ini bukan kali pertama Tatiek mengalami hal demikian. Dia pernah dibuat menangis bahagia ketika pada suatu malam, ketiga anaknya memberi kejutan di hari ulang tahunnya. Fatih (15), Azzam (13), dan Khansa (9) memberikan hadiah ulang tahun yang sangat istimewa.

“Fatih mengumpulkan tanda tangan Azzam, Khansa, dan Abi mereka pada selembar kertas. Mereka kemudian menghadiahkan tanda tangan itu kepada saya sambil mengucapkan selamat ulang tahun dan ucapan terima kasih atas perhatian dan kasih sayang yang sudah diberikan. Itu hadiah yang tidak akan bisa saya lupakan.”

Yang diterima Tatiek tidak serta-merta datang begitu saja. Saban malam, setiap Khansa menjelang tidur, Tatiek selalu memberikan pujian atas apa yang sudah dilakukan Khansa, utamanya yang bernilai kebaikan.

“Setiap Khansa melakukan shalat, saya selalu memuji dan memanggilnya dengan sebutan ‘saalehah’.” Begitu pula dengan Fatih. Tatiek tidak segan memberikan pujian, bahkan di depan umum. Tatiek pernah membuat status Facebook yang memuji Fatih yang juga memiliki akun Facebook. Dia menulis, “Subhanallah, Ummi bahagia memiliki putra yang saleh seperti Fatih. Selamat ya, nak, sudah hafal 3 juzz.”

Bagi Tatiek, pujian itu sangat mudah dilakukan asal tulus. Tetapi, efeknya akan sangat besar. Memberi pujian kepada anak atas perbuatan baik bukan hanya sebentuk pengakuan, tetapi juga mampu meningkatkan rasa percaya diri sehingga mereka semakin giat melakukan kebaikan-kebaikan yang lain.

Pujian Juga Melenakan
Pujian itu bisa meningkatkan rasa percaya diri seseorang, tetapi juga tak jarang pujian bisa menjatuhkan seseorang. Menurut Prof. Deddy, pujian itu harus didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas, serta tidak berlebihan. “Dalam memuji, harus memperhatikan dua hal, yaitu intensitas dan frekuensi pujian.”

Intinya, dalam memberikan pujian harus sesuai dengan fakta yang ada. Pujilah seseorang sewajarnya. Jangan berlebihan dan lebay. Karena kalau intensitas pujian itu berlebihan, maka nilainya akan terkikis sehingga penerima pujian tidak akan merasakan dampak positifnya. Pujian juga harus memperhatikan frekuensi.
“Memuji itu ada momennya. Jangan sering-sering memberikan pujian. Sebab, kalau terlalu sering, pujian itu nanti akan terasa kering,” ujar Prof. Deddy.

Bagi si penerima, agar tidak melenakan yang selanjutnya dapat menjatuhkan, pujian harus segera dikembalikan kepada Allah. KH. Jujun Junaedi, M. Ag, dosen UIN Sunan Gunung Djati yang juga dai yang sering tampil di televisi mengatakan bahwa pada dasarnya pujian itu terbagi ke dalam empat hal. “Pujian itu bisa qodim ‘alal qodim, qodim ‘alal hadis, hadis ‘alal qodim, dan hadis ‘alal hadis.

Di dalam Al-Quran, Allah sering memuji diri-Nya (qodim ‘alal qodim), Allah juga memuji hamba-Nya (qodim ‘alal hadis), dan manusia dianjurkan untuk memuji Allah (hadis ‘alal qodim), dan sesama manusia juga dianjurkan untuk saling memuji (hadis ‘alal hadis),” demikian seperti dituturkan kepada MaPI. “Kalau ada yang memuji misalnya ‘Si Jujun pinter euy’, kita terima itu sambil mengembalikan pujian itu kepada yang layak menerimanya, yakni Allah Swt,” imbuhnya.

Supardi Lee, petani Lele Sangkuriang dari Depok yang juga pembina komunitas The Power of Life, mengatakan bahwa pujian harus diselaraskan dengan kritikan. “Pujian itu perlu untuk meningkatkan rasa percaya diri. Tetapi juga kritikan harus disertakan agar orang yang menerima pujian juga diingatkan akan kekeliruannya. Tentu saja dengan cara-cara yang akhsan,” kata Supardi Lee.

Balas Pujian dengan Doa
Orang yang menerima pujian dengan keimanan akan senantiasa melantunkan asma Allah Swt. sebagai rasa syukurnya. Tiap pujian yang diterima akan membuatnya menjadi ‘alarm’ pengingat bahwa tiada Allah Swt. yang pantas dipuji. Demikianlah tanda-tanda orang yang bertakwa dalam menyikapi pujian dari orang lain.

Dapat dimaklumi, merasa puas dan bangga mendapat pujian atas keberhasilan sesuatu yang kita ikhtiarkan adalah hal yang wajar. Justru dengan pujian itu, hendaknya kita bisa lebih mengintrospeksi diri agar segala perbuatan dan tingkah laku senantiasa sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidak mudah memang, tapi paling tidak kita bisa bersikap tawadhu dan tidak angkuh diri.

Sikapi pujian secara sehat, demikian kata K.H. Miftah Faridl. “Pujian juga dapat mendatangkan dosa. Masya Allah! Begitu dekat sebenarnya kehidupan manusia itu dengan dosa. Potensi dosa ada dalam seluruh indra kita termasuk dalam pikiran dan hati kita yang paling dalam. Pujian yang disikapi dengan berlebihan bisa memmbuat perilaku riya dan angkuh diri,” tutur Miftarh Faridl.

Menerima pujian dengan sikap negatif membuat kita mudah meremehkan orang lain, sulit menerima kritikan, dan memiliki pikiran sempit karena menganggap diri paling baik serta menjadi gila sanjungan. Hal inilah yang akan menimbulkan dosa besar. Padahal, belum tentu kita yang paling baik dibanding orang lain yang memuji kita. Sebagaimana yang disampaikan firman-Nya, “Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Najm [53]: 32)

Hal tersebut berlaku juga dalam beribadah. Sungguh rugi orang-orang yang melakukan suatu ibadah semata-mata untuk mendapat pujian dari orang lain. Selain ibadahnya tidak diterima Allah Swt., kita pun dikategorikan sebagai hamba yang menyutukan Allah Swt. Maka, berhati-hati dalam menyikapi pujian adalah perbuatan yang dicintai-Nya. Bilamana ada yang memuji maka kembalikanlah segera kepada Allah Swt. dengan mengucapkan hamdallah dan perbanyak beristigfar. Insya Allah, dengan demikian kita terhindar dari penyakit uzub (merasa diri lebih dari yang lain).

Sudah Pantaskah Kita Menerima Pujian?
Perlu direnungkan pula bahwa ketika ada orang yang memuji kita, itu lebih karena faktor ketidaktahuan orang tersebut akan sisi buruk yang kita sembunyikan. Kiat Nabi Muhammad Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa, “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (H.R. Bukhari). Kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita benar adanya, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain.

Saat orang memberikan pujian, di sinilah saatnya kita mawas diri. Benarkah pujian itu pantas untuk kita terima? Boleh jadi pujian orang lain tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya orang kirakan kepada kita. Perhatikan hadits berikut, “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam, memuji pun ada adabnya. Dari dari Abu Bakar r.a. diriwayatkan, ketika seorang sahabat memuji sahabat yang lain secara langsung, Nabi Muhammad Saw. menegurnya, “Kamu telah memenggal leher temanmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Senada dengan hadits tersebut, Ali r.a. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”

Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw. memberikan contoh cara mengemas pujian yang baik. Rasulullah tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka, orang Badui itu pun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Muhammad Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahkan, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah orang (Badui) tadi.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Rasul juga mengajarkan kita agar menyikapi pujian dengan doa. Setiap kali ada yang memuji Nabi Muhammad Saw. beliau menanggapinya dengan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari). Lewat doa ini, Nabi Muhammad Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang berpotensi menjerumuskan kita ke perilaku buruk.

Sebaliknya, ketika memuji orang pun kita diajarkan untuk memberikan motivasi, bukan membuat orang lupa diri dan menajdi angkuh. Nabi Muhammad Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Quran, Nabi Muhammad Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra., “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Quran).” (H.R. Hakim, dari Sa’id bin Jubair)

Begitu pula di saat Nabi Muhammad Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah r.a. dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah r.a. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. dan menjadikan Abu Hurairah r.a. sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Berdakwah di Keluarga dengan Pujian
Kelembutan, kesantunan dalam menyampaikan sesuatu kepada istri dan anak-anak menjadi harga mati. Tetapi, bukan berarti kita menjadi anti ketegasan dalam menyampaikan mana yang hak dan yang batil. Suami dan istri adalah figur teladan bagi anak-anaknya. Maka, dalam menegakkan syariat Islam di rumah, ibu dan ayah lah yang menjadi model pertama untuk diteladani anak-anak.

“Boleh dicek ke rumah. Selama sebelas tahun berumah tangga, saya belum pernah bersikap kasar, melototin istri, atau ngomong dengan nada keras kepada istri. Begitu juga kepada anak-anak. Karena Rasulullah Saw. pun mencontohkannya begitu. Rasul sendiri suatu saat pernah tegas di atas mimbar dalam menyampaikan ceramahanya. Tetapi, ketika di rumah, beliau bersikap lembut dan tidak pernah memanggil nama istrinya melainkan dengan nama-nama pujian yang menyenangkan hati,” ungkap KH. Abdul Qohar NZ Al-Qodsy, Lc., Ketua FPI Jabar, kepada MaPI. “Itulah Islam, saudaraku.”
Santun dan menyenangkan keluarga dengan pujian menjadi ciri keindahan kehidupan Islam yang perlu ditumbuhkan dalam keluarga muslim. Kita perlu paham, tiap individu manusia itu tidak ada yang sempurna, justru bila kita menemui kekurangan suami atau istri, kita perlu meluruskan dan menyempurnakannya dengan selalu melihat sisi baiknya.

“Alhamdulillah, puluhan tahun saya menikah. Saya selalu memanggil istri dengan panggilan pujian. Saat berada di rumah, saya panggil beliau dengan sapaan ‘sayangku’, ‘pendamping yang setia dan salelah’, dan panggilan pujian lainnya. Begitu juga, istri kepada saya. Pujian-pujian yang membuat saya bahagia dan bangga mendengarnya,” ungkap Al-Qodsy sembari memeluk anaknya.

Begitu juga kepada anak-anaknya. Al-Qodsy selalu menekankan pujian sebagai alat untuk memperkuat kepercayaan dan keyakinannya terhadap Islam. Anak diajarkan untuk berpikir. “Saya selalu memuji anak-anak untuk menumbuhkankan pemikiran dan kepribadian islami. Saya panggil mereka dengan ‘kalian adalah kebanggan saya, harapan keluarga, harapan umat dan harapan Islam.’ Mereka pasti bertanya, “Apa harapan baba (ayah.red)? Apa maksud dari harapan Islam?” Kita jelaskan bahwa di pundak mereka adalah tumpuan umat Islam, mereka adalah penerus generasi yang diharapkan mampu meneruskan perjuangan dalam menegakan amar ma’ruf dan nahi munkar.”
Dengan begitu, pungkas Al-Qodsy. Dengan pujian kita dapat menyelipkan pendidikan dan pembinaan nilai-nilai keislaman yang sekiranya dapat diserap sesuai dengan daya pikir dan usia anak-anak. Dan, inilah yang kita sebut dengan berdakwah melalui pujian. [Muslik, Ahmad, Fatih]


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More