SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA - SILAHKAN TINGGALKAN PESAN ANDA

2 Februari 2012

ANTARA PERUBAHAN DAN SIKAP SOSIAL
Oleh : Zainal Muttaqin Anwar
Kemajemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, adat dan agama menjadi lebih super-majemuk manakala dilihat dari tingkat pemahaman agamanya. Karena pemahaman agama melibatkan latar belakang dan intelektual. Masyarakat Indonesia hampir memiliki seluruh lapisan latar belakang dan intelektual. Mulai sebutan awam dan cendikiawan, ,pinggiran dan penguasa, kaum alit dan elit, serta sebuatan-sebutan lain yang menggambarkan strata sekaligus status mereka. Dengan pluralitas semacam ini meniscayakan adanya tingkatan-tingkatan pemahaman terhadap agama mereka. Pada skala tertentu heterogenitas ini dapat menjadi persoalan yang komplek namun produktif tetapi juga stabil namun kontra produktif. Kompleksitasnya mampu menggerakkan secara dinamis perubahan-perubahan dalam pemahaman keagamaan. Kontraproduktifnya tercipta dari penekanan-penekanan terhadap maasyarakat yang kadar intelektualnya rendah, sehingga pemahaman mereka terpola dan stabil namun tidak menguntungkan, karena adanya dominasi. Tidak terjadi dinamisasi pemahaman, sehingga masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan nya.
Pemahaman agama memiliki implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan masyarakat penganutnya. Agama sebagai motivator relagius, Weber menyebutnya innerworldly asceticism, yakni merupakan dasar bagi semangat enterpreuneurship dikalangan masyarakat protestan Sebagaimana fungsi Iman dalam Islam, kepercayaan (belief/iman) dalam hati (bil qolbi) menuntut pengejawantahan dalam kehidupan, baik ucapan (bil lisan) dan perbuatan (taqrir). Bagaimana ia memahami konsep agamana dapat diindikasikan dari interaksi pemeluknya terhadap prilaku sosialnya. Demikian juga pemaknaan terhadap perubahan sosial yang mungkin selalu terjadi benturan terhadap pemaknaan simbol-simbol agama – sebagai bentuk responsibility – yang ia fahami menjadi cerminan tingkat pemahaman agamanya.
Sebagai frame of life – Istilah Muslim AR : blue-print – agama praktis menjadi kontrol dari perjalanan hidup pemeluknya, bahkan terhadap setiap perubahan sosial yang ada. Nilai tersebut secara simultan memberi kontribusi aktif terhadap prilaku masyarakat. Perbedaan pemahaman agama antara Kaum Katolik dan Protestan membawa dampak hidup yang berbeda pula. Kaum protestan lebih bersemangat menjalankan kehidupan duniawinya akibat pemaham aktivitas sosial in majorem gloriam dei (semua demi kemuliaan Tuhan) ( Max Weber, 2000). Sebenarnya bertolak dari sini, pemahaman keagamaan harus selalu berpacu dengan perubahan sosial, karena juga tidak ada batasan bagaimana konsep agama itu harus difahamkan secara stagnan. Justru agama harus menjadi motor perubahan (spirit of change) yang mendahului segala perubahan. Bukan sebaliknya, agama menjadi justifikasi dan legistimasi perubahan, agama hanya datang belakangan. Tentu saja ini tergantung pada tingkat pemahaman pemeluknya terhadap agamanya masing-masing.
Perubahan pemahaman agama dapat pula dilihat dari pemaknaan simbol-simbol agama dalam suatu komunitas terhadap makna universal simbol-simbol tersebut. Dimana setiap agama memilki sistem credo dan sistem ritus (Endang Saifuddin Anshari, MA, 1987) yang harus difahami oleh pemeluknya bukan sekedar keyakinan dan gerakan formalitas, tetapi memiliki konsep religius dari bentuk komunikasi antara hamba dengan Tuhannya. Pemahaman yang demikian di Indonesia telah “berubah” – jika tidak dapat dikatakan dirubah secara tersetruktur dan sengaja – pada takaran tertentu sistem credo dan ritus hanya sebagai simbolisasi dari kerukunan umat beragama. Pendirian berbagai rumah ibadat dalam satu lokasi bukan lagi simbol fungsionalisasi meningkatkan penghayatan sistem akidah dan ritual, melainkan simbol kebersamaan dan keharmonisan – bahkan kebersamaan dan keharmonisan itu sendiri juga hanya sebatas simbol – dari pluralitas keagamaan di Indonesia agar terlihat senyatanya suatu kerukunan umat beragama.
MENGHORMATI HIDUP SESAMA :
SEBUAH PARADIGMA PEMBINAAN HIDUP BERAGAMA
Paradigma yang dikembangkan pada masa Orde Baru adalah kerukunan itu selalu difahamkan identik dengan bersama (kebersamaan). Misalnya dengan membangun sarana ibadah dalam lokasi yang sama, perlakuan yang sama, bahkan yang lebih berbahaya adalah memaksa agar masyarakat memahami bahwa semua agama itu sama. Sampai pada penekanan agar masing-masing umat beragama selalu datang pada setiap upacara yang dilakukan oleh umat beragama lain.
Dengan istilah kerukunan umat beragama atau antar umat beragama maupun antara pemeluk agama, kerukunan hidup beragama di Indonesia masih bersifat retorik dan gramatik. Sehingga keuatannya hanya sebatas bahasa dan kata-kata. Padahal ada hal penting dan subtansial yang seharusnya dikedepankan untuk menjamin kelangsungan kerukunan hidup beragama lebih lenggeng. Pertama, yaitu dengan mengaktualisasikan pemahaman keagamaan masing-masing secara fasih dan fundamental, terlepas dari kepentingan politik dan kekuasaan. Independensi pemahaman ini sangat penting, karena akan berdampak lebih lama dan kuat.
Kedua, kita harus percayakan kepada masing-masing agama untuk memahami konsepnya tentang hubungan antar sesama manusia secara luas, bukan terkotak pada satu tema kerukunan hidup beragama. Akibatnya justru akan mempersempit arti kerukunan itu sendiri. Jika konsep Islam tidak memperbolehkan umatnya untuk bersama-sama melakukan ritual agama lain, maka ini adalah suatu kenyataan pemahaman keagamaan yang harus dihormati, bukan sebagai bentuk ketidak-harmonisan. Penghormatan terhadap agama lain, bukan berarti kita harus terlibat dan melebur dengan ajaran atau ritual agama lain. Justru ini merupakan bentuk koersi spiritual.
Ketiga, para pemimpin agama harus membuat jarak dengan penguasa agar tidak menjadi alat kekuasaan dengan mengekploitasi kepercayaan dan kahrisma terhadap umatnya. Sebagaimana menyangkut dua posisi pememimpin agama, yaitu: Pertama,,pengakuan kepemimpinan oleh umatnya. Kedua, adalah pengakuan kepemimpinan pleh pemimpin lain, (Isomuddin, Drs, Msi, 1996)


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More