SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA
SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI - TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA - SILAHKAN TINGGALKAN PESAN ANDA

13 Maret 2012

Mencermati Pendidikan

MENCERMATI PENDIDIKAN GRATIS
Peribahasa Jawa Jer basuki mawa bea rasanya tak salah jika direnungkan kembali, apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan gratis, yang selalu saja menjadi modal utama dalam dunia politik. Panggung pemilu yang baru usai juga menyisakan janji para caleg mengenai pendidikan gratis. Pendidikan merupakan harga mati dalam sebuah kehidupan karena pendidikan adalah hak asasi manusia seperti yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights.

 Untuk membangun masyarakat madani diperlukan manusia yang cerdas dan kompeten. Di samping itu, era global yang ditandai dengan lahirnya masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Keempat aspek tersebut dapat diperoleh melalui proses pendidikan, dan pendidikan sendiri akan berjalan dengan baik jika didukung oleh berbagai pihak terkait pemerintah, baik pusat maupun daerah, orang tua, dan masyarakat.
Untuk membangun berdirinya pendidikan yang kokoh, Indonesia sudah lebih dari 15 tahun menanamkan fondasi pendidikan dasar dengan mencanangkan program wajib belajar mulai dari 6 tahun hingga diperluas menjadi 9 tahun. Meskipun demikian, masih saja belum jelas apakah Indonesia mampu melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang artinya pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua wilayah, mengingat status wilayah pandangan hidup sebagian besar rakyat Indonesia tentang pendidikan. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand tahun 1990 yang menegaskan bahwa compulsory education bukan universal education. Wajib belajar berimplikasi terhadap pembebasan biaya sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menyukeskan pendidikan dasar sembilan tahun sedangkan universal education berimplikasi pada ketersediaan tempat belajar.
Dalam pengertian pembebasaan biaya pendidikan, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid. Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang pada tahun 2009 akan diterima oleh tiap siswa sebesar Rp. 400.000/ tahun untuk SD/ SDLB di wilayah kota, Rp. 397.000/ tahun untuk SD/ SDLB di kabupaten sedangkan untuk siswa SMP/ SMPLB/ SMPT di kota Rp. 575.000/ tahun dan SMP/ SMPLB/ SMPT di kabupaten Rp. 570.000/ tahun.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sebelum menjanjikan pendidikan gratis apakah para calon pimpinan daerah sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar daripada dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut? Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak membebankan kekurangan biaya pendidikan kepada orang tua. Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah daerah atau dibiarkan tanpa satu pihak pun menutupnya. Mau atau tidak pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah seperti yang telah dinyatakan dengan jelas dalam aturan BOS bahwa pemerintah daerah wajib memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari APBD yang ada. Ini berarti, diperlukan alokasi APBD yang cukup besar, sesuai dengan jumlah murid yang harus menempuh pendidikan dasar.
Sebagai gambaran, jika selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD, diperlukan tambahan APBD senilai Rp 3 miliar untuk tingkat SD, belum lagi ditambah untuk tingkat SMP. Semakin besar selisih antara BOS dan biaya satuan, dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah akan semakin besar alokasi APBD yang diperlukan. Jika APBD daerah tersebut tidak dapat menutup kekurangan BOS, siapa yang harus bertanggung jawab sementara kebijakan pendidikan gratis harus konsisten dilaksanakan? Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah penyelenggaraan pendidikan tidak sesuai dengan standar.
Beberapa fakta tentang BOS menunjukkan sebagai berikut. Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai "pendamping BOS", untuk bisa menggratiskan pendidikan. Sebagai ilustrasi, kota Bekasi mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD plus biaya operasional sekolah lainnya sebesar Rp 21.500, dengan total dana yang dialokasikan untuk pos ini adalah Rp 61,5 miliar (Republika, 3 Januari 2008). Ini merupakan kondisi yang mendekati ideal, keperluan operasional sekolah terpenuhi dengan baik dan masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan tanpa harus membayar.
Kedua, pemda menganggap BOS tidak cukup sehingga pemda tidak mengalokasikan atau mengalokasikan APBD dalam jumlah kecil, tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari masyarakat. Langkah ini tidak populer, karena masyarakat masih dibebani dengan biaya pendidikan. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini pihak sekolah terbantu karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan kontribusi dari orang tua atau masyarakat. Ketiga, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi sekolah, sehingga pemda menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan atau mengalokasikan dalam jumlah kecil APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan banyak sekolah karena dikhawatirkan berimplikasi buruk pada kualitas pendidikan. Di sisi lain, masyarakat menikmati sekolah gratis, meskipun ada ancaman penurunan kualitas yang belum tentu dirasakan dengan segera.
Situasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu baik bagi masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah, tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang bermutu dan harus disadari betul bahwa segala sesuatu memang memerlukan pengorbanan finansial. Sayangnya, murah dan bermutu tidak selalu bisa berjalan seiring, lagi-lagi mengutip pepatah Jawa Ana rega ana rupa. Dalam kasus tertentu, bagi pemda yang tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap. Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah. Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas dalam mencermati wacana pendidikan gratis.
Pemutakhiran Terakhir ( Rabu, 14 April 2011 )


0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More