Pada pembelajaran yang lalu kamu
telah memahami pengertian dan bentuk tulisan
resensi buku fiksi. Bahkan kamu telah berusaha menganalisis, membandingkan
beberapa
tulisan resensi untuk memahami kelengkapan
dan kekurangan suatu resensi. Pada
pembelajaran kali ini kamu diharapkan dapat
menulis resensi buku fiksi atau karya sastra
secara baik dan tepat.
Menulis resensi suatu karya
sastra, berarti kamu harus mampu menganalisis karya sastra
yang akan kamu resensi. kamu harus mampu
menganalisis dan memberikan penilaian unsur
-unsur karya sastra seperti: tema
cerita, alur, latar, penokohan, sudut pandang, penggunaan
bahasa, dalam karya sastra yang kamu
resensi. Berikut contoh resensi buku novel yang
bisa kamu pelajari.
Judul : Matilda.
Pengarang : Ronald Dahl (Ilustrasi oleh Quentin Blake). Alihbahasa : Agus Setiadi. Penerbit : Gramedia, 1991. Tebal : 259 halaman. Ukuran : 13,5 x 19,8 cm.
Enak rasanya memahami dunia
anak-anak dan berkecimpung di dalamnya. Anak-anak dapat
berpikir seperti orang dewasa, bahkan lebih
bijak lagi tanpa meninggalkan citra anak-anak
yang suci dan polos. Itu kira-kira
yang ingin disampaikan oleh Ronald Dahl kepada pembaca
Matilda. Buku setebal 259 halaman yang tidak
terasa tebal jika dibaca ini menampilkan
sosok Matilda, bocah 5 tahun yang
hobinya membaca. Buku-buku karya pengarang dunia
seperti Charles Dickens, Voltaire,
Hemingway, Kliping, Tagori, Shakespiere sudah dibacanya
saat umurnya belum genap 5 tahun.
Buku ini menarik karena diberi
ilustrasi yang menunjang. Katakatanya enak dibaca, dan
memiliki adegan-adegan di luar
batas kenormalan. Mungkinkah ada kepala sekolah SD yang
tega menarik kepang rambut muridnya dan
membuat anak itu seperti baling-baling di atas
kepala Kepsek hanya karena si anak
tidak memotong rambut keemasannya? (hlm. 123).
Mungkinkah pula ada seorang Kepsek yang
mempunyai alat-alat untuk menghukum siswa
bandel bak alat-alat penyiksaan di kamp
Nazi; dan menyuruh seorang anak kecil memakan
kue tar coklat berdiameter 20 cm? Dan
rasanya tidak ada di dunia ini orangtua menganggap
anak perempuannya yang bungsu
(Matilda) sebagai bisul yang mengganggu (hlm. 10).
Meskipun cerita-ceritanya memberi
kesan menyeramkan, kala membacanya kita tidak merasa
merinding karena gaya penceritaan dibuat
seringan mungkin, sesuai dengan sasaran pembaca
buku ini, yaitu anak-anak SD di
Inggris sana. Yang mungkin agak membuat pembaca
Indonesia bingung adalah siapa sasaran
pembaca buku ini. Dalam katalog, buku ini
dikatagorikan sebagai fiksi
anak-anak. Namun, mengingat jumlah halaman dan kosakatanya,
buku ini terasa berat bagi anak-anak SD di
Indonesia.
Matilda menceritakan seorang anak
berumur 5 tahun yang memiliki kepandaian di atas
ukuran orang dewasa. Sialnya,
kepandaiannya ini tidak diperhatikan orangtuanya karena
mereka tergolong orangtua yang
menganggap anaknya sebagai kutu yang menjijikkan.
Bahkan, orangtuanya menganggap Matilda tidak
berguna dan bodoh (hlm. 27). Hampir
separoh kisah Matilda bercerita tentang
”pembalasan” Matilda terhadap sikap dan ucapan
orang tuanya. Dengan kemampuan supernya,
yaitu mampu menggerakkan barang hanya
dengan pikiran saja, Matilda
berhasil membantu Miss. Honey mendapatkan rumah dan
uangnya yang diambil Kepala
Sekolah SD, Ibu Thrunchbull.
Pembalasan Matilda dimungkinkan
terjadi karena selain cerdas, Matilda juga banyak
membaca. Matilda yang tersia-sia ini
akhirnya tinggal dengan Miss. Honey, gurunya,
karena orangtuanya dan kakaknya
pindah ke Spanyol akibat kasus kejahatan yang mereka
lakukan. Ronald Dahl tampaknya
menekankan pentingnya kegemaran membaca. Tokoh-
tokoh baik dan pintar dalam buku
ini adalah orangorang yang gemar membaca, sedangkan
tokoh-tokoh jahat seperti orangtua
Matilda dan Kepsek adalah orang-orang yang hobinya
bermain.
|
0 komentar:
Posting Komentar